Kejadian
ini kualami ketika aku pertama kali menjadi seorang ibu, sekitar 20 tahun yang
lalu.Aku adalah seorang wanita dari Jakarta yang menikah dengan seorang
laki-laki yang asalnya dari Pekalongan. Ketika itu, aku menikah di umur yang
sangat belia, 19 tahun dan perbedaan umur kami sepuluh tahun. Aku menikah
awalnya karena tidak ingin dijodohkan oleh ibuku, bukan karena sebuah keinginan
yang memiliki persiapan pasti. Namun, aku tetap mencintai lelaki yang kunikahi
itu, Bambang Mustofa nama lengkapnya. Satu bulan sudah kami menikah, tiba-tiba suamiku
bertanya kepadaku, “Mama sudah hamil atau belum?”. Dalam batin aku memaklumkan
pertanyaan tersebut. Karena memang ia ingin segera memiliki anak di usianya
yang sudah terbilang berumur. “Ga’
tahu pa.” jawabku padanya waktu itu. karena memang aku tidak tahu bagaimana
tanda-tandanya kalau seorang wanita sedang hamil.
***
Pagi
hari mulai menyapa. Embun-embun di daunan masih basah dan mebuat segar suasana
waktu itu. Aku melakukan pekerjaan seperti biasanya sebagai ibu rumah tangga.
Di sela-sela kesibukan tersebut, aku teringat akan pertanyaan suamiku semalam.
Pertanyaan tersebut terus saja mengusik hatiku dan membuatku menjadi takut. “Aku bisa hamil ga’ ya?”batinku terus saja terusik. Begitulah perasaan wanita yang
ingin membahagiakan suaminya. Mungkin perasaan ini juga dialami oleh
istri-istri lain di luar sana. Akhirnya, untuk menuntaskan rasa takut dan
penasaranku, aku pun berkunjung ke rumah tetangga setelah semua pekerjaan rumah
selesai. Tetanggaku itu pernah bekerja sebagai suster di sebuah rumah sakit
Jakarta.
“Assalamu’alaikum
ibu..” salamku ketika sudah berada di depan rumahnya. Kupandangi rumah
tersebut, kecil namun asri serta menyejukkan suasana. “Wa’alaikumsalam.
Sebentar” terdengar suara seorang wanita dari dalam rumah. “Oh ibu Yuliana...
ada apa bu?”tanya seorang wanita yang tak lain merupakan tetanggaku. Ia pun
membukakan pintu pagarnya untukku dan menyilahkanku untuk duduk di kursi
terass. “Ada apa Bu?”tanyanya lagi padaku karena aku belum sempat menjawab
pertanyaan yang diajukannya tadi. “Ngg... gini Bu.”kataku sambil merasa tidak
enak. “Aku kok belum hamil ya bu?” sambungku sambil menundukkan muka seraya
malu. Tetanggaku itupun tersenyum melihat tingkah lakuku saat itu. Dengan
tenang ia pun menjawab,”coba ibu periksakan saja ke dokter. Insya Allah
semuanya baik-baik saja.” Aku pun menganggukan kepalaku menandakan setuju atas
sarannya tersebut. Perbincangan pun berlanjut semakin luas, pekerjaan ibu
biasanya.
Setelah
percakapan dengan tetanggaku itu, aku pun memutuskan untuk pergi ke dokter
untuk mengecek apakah aku hamil atau tidak. Ditemani oleh suamiku yang setia,
aku pun masuk ke ruangan dokter dan berkonsultasi. Dan ternyata, aku hamil.
Penjelasan dari dokter tersebut membuatku senang, terlebih lagi suamiku yang
memang sudah mengharapkan dalam waktu yang lama. “Ma,, kamu hamil...”sambutnya
dengan pelukan hangatnya kala itu. Aku hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.
Perasaan senangku ini kian bertambah, Suamiku sangat memanjakanku di kala itu,
menemaniku memeriksakan kehamilanku ke dokter, membelikan makanan yang
enak-enak untukku, membelikan susu hamil, dan hal-hal lainnya. Aku sangat
bersyukur telah menikah dengannya. Aku yang masih pertama kali merasakan
kehamilan, merasakan perjuangan yang cukup berat selama kehamilanku itu. Rasa mual
dan muntah, kujalani dengan ikhlas demi menjaga buah hati dalam perutku ini.
***
Di
masa kehamilan, aku pernah berkunjung ke rumah mertuaku untuk memberitahukan
kabar gembira ini. Mertuaku pun turut senang dan menyambutku dengan hangat. Ia
selalu membuatku jamu untuk diminum ketika aku berada di tempat itu. namun,
karena aku tidak suka dengan jamu, diam-diam aku membuangnya tanpa meminumnya.
Selain kejadian itu, ada kejadian-kejadian aneh lainnya seperti sering terjatuh
di rumah ketika mengandung buah hati ini. Padahal ayahku sudah mengepel lantai
dan membersihkannya agar tidak licin, namun tetap saja sering terjadi kejadian
tersebut. Alhamdulillah, kondisi anakku masih baik-baik saja.
Bulan
demi bulan berganti. Akhirnya aku merasakan sakit yang amat perih di bulan ke-9
kehamilanku ini. Sakit yang belum pernah kurasakan selama ini. “Papa..” batinku
merasakan perih. Waktu itu, suamiku masih ada di kantornya, karena mendapat
tugas shift malam. Aku pun segera meneleponnya.. Tuutt.. “Assalamu’alaikum Pa.”
Salamku memulai pembicaraan sambil menahan rasa sakit. “Wa’alaikumussalam
warahmatullah,, mama? Ada apa Ma?”terdengar tanyanya di telepon tersebut. “PA,,
Pulang!! Perut mama sakit.. Pulang Pa,,
anterin mama ke dokter..”jawabku sambil sedikit teriak menahan rasa sakit di
perutku. “I..IIyaa.. tunggu ma.. kamu rebahan aja dulu di kasur.” Telepon itu
kututup dan aku segera beranjak ke kamarku untuk berbaring. “Sakiiit...”batinku
kembali merintih.
Tak
lama kemudian, suamiku pun datang. “Ma,, dimana kamu??”teriak suamiku ketika
sudah berada dalam rumah kami. “Di sini pa..”jawabku sambil menahan rasa sakit
ini. Suamiku pun membawaku ke rumah sakit terdekat ketika itu. Dengan
menggunakan taksi kami pun menuju rumah sakit tersebut. Di perjalan, tak
henti-hentinya ku menahan rasa sakit ini. “Sakiit pa..”kataku pada suamiku..
“Ia ma, sabar ya..”jawabnya sambil menenangkanku dengan belaiannya. “Pak,
cepetan pak. “Kataku pada supri taksi yang kami tumpangi itu.
***
Sesampainya
di rumah sakit, aku segera dibawa ke sebuah ruangan pasien. Di sana banyak
alat-alat kedokteran yang membuatku merinding, karena aku baru pertama kali
melihatnya. Perasaan takutku pun semakin menjalar, aku pun mencoba kabur tanpa sepengetahuan
suamiku dan para suster. Ketika aku berlari menuju sebuah lorong rumah sakit
itu, aku hanya menemui jalan buntu. Dan ketika ku mencari jalan lain, semuanya
buntu. Akhirnya seorang suster pun menemukanku sedang bingung. “Bu, kenapa di
sini?”tanyanya ramah padaku. Aku tak bisa menjawab apa-apa, karena malu dan
tidak tahu harus menjawab apa. Suster itupun mengantarku ke sebuah ruangan yang
penuh dengan wakta yang telah melahirkan anak-anaknya. Hatiku pun menjadi
sedikit tenang melihat keramaian itu. Dari jauh aku melihat suamiku dari jauh
yang sedang menghampiriku. “Kamu kemana aja Ma?”tanyanya padaku. “Mama takut
Pa.”jawabku sambil menggelayut tangannya.
Beberapa
jam kemudian, dokter pun datang dan membantu persalinanku. Suasana persalinan
waktu itu tidak dapat kuingat dengan jelas, namun ketika itu terdengarlah suara
tangisan bayi yang sangat kera. Alhamdulillah, persalinan dapat kujalani dengan
baik dan selamat. Suamiku segera mendekatiku dan anak pertama kami. Anak itu
laki-laki dengan kondisi yang sehat, suamiku langsung memberikan nama untuk
bayi tersebut. Kutatap wajah suamiku, terlihat senyum gembira di wajahnya. Aku
pun turut bahagia karena dapat membahagiakannya. “Ma, anak kita
laki-laki..”katanya padaku. “Iyah pa,, moga aja ganteng ya kaya
bapaknya..”kataku sambil tersenyum padanya. Keluarga besar kami turut
berdatangan, mengucapkan selamat dan menyampaikan kegembiraannya. Turut pula
tetangga di daerah rumah kami berdatangan menjenguk keadaanku dan menengok bayi
pertamaku. Perasaan bangga menjalar dalam benakku, karena aku sudah berhasil
melahirkan bayi mungil yang sehat dan tampan.
Namun,
selama aku dirawat di rumah sakit, terjadilah suatu kejadian yang tak dapat
kulupakan. Saat itu, bayi kami diperlihatkan padaku untuk disusuinya. Dan ketika
aku sedang menyusuinya, suamiku datang menghampiriku. Ia melihat bayi yang
berada dalam dekapanku dengan tatapan yang heran. “kenapa Pa?”tanyaku padanya
melihat tingkahnya yang aneh. “Ma, kok bayinya beda ya?”tanyanya balik
kepadaku. Aku pun akhirnya ikut memerhatikan dengan seksama bayi yang sedang
kususui ini. Terlihat bayi tersebut agak hitam dan besar, lain dengan pandangan
kami sebelumnya. “Ah,, mungkin mang kea gini kali pa kalo anak baru
dilahirin.”jawabku polos padanya. Karena memang aku baru pertama kali menimang
bayiku sendiri. “Oohh.. Hm.. mungkin kali ya.”jawabnya padaku. Meskipun
keheranan masih terlihat di raut wajahnya, namun nampaknya ia tidak terlalu
mempersoalkannya.
Tiba-tiba,
kehendak Allah pun terjadi. Bayi itu buang air kecil ketika sedang kususui.
“Pa,, tolong ambilin kain bedongnya
pa.”kataku pada suamiku yang masih berada di sampingku kala itu. “Iya, sebentar
ma..”katanya padaku sambil beranjak dari duduknya dan menuju tas kami untuk
mengambil barang yang kuminta tadi. “Ini ma.”katanya sambil menyodorkan kain
tersebut. Saat aku mulai membuka kain yang melilit tubuhnya, aku dan suamiku
terkejut. “Pa! Ini kok bayinya perempuan??!”tanyaku heran pada suamiku..”Iya
ma,, kok perempuan,?? Sebentar ma, Papa cariin dulu susternya..”katanya sambil
beranjak keluar kamar. “Kok bisa ya?”batin masih heran.
Tak
lama kemudian, suster dan suamiku pun telah datang. “Sus,, kok bayinya
perempuan?”tanyaku heran pada susternya. “Yang bener bu?Mang bayi ibu
laki-laki?”tanyanya padaku. “Iya sus..”jawab suamiku padanya. “Sebentar ya
bu..”suster itu pun berjalan keluar ruangan dan entah pergi kemana. “Pa,,
kemana bayi kita??”kataku mulai merasakan sedih. “Sabar ya Ma,,
sabar..”jawabnya menenangkanku. Suster yang ditunggu pun tiba, ia membawa sosok
bayi mungil di pelukannya bersama suster yang biasa merawatku. “Ini pak
bayinya?”tanya suster pada suamiku. Suamiku langsung menimang bayi laki-laki
tersebut dan menunjukkannya padaku. “Ini kan ya ma?Papa ga’ salah kan
ma?”tanyanya padaku. Aku pun menganggukkan kepalaku. “Kok bisa tertukar
sus?”tanyaku pada kedua suster tersebut. Suster yang biasa merawatku
menjelaskan ceritanya bahwa bayi kami tertukar karena keteledorannya saat
menaruhnya di ranjang bayi. “Ma..aaf ya Bu..”katanya mengakhiri penjelasannya.
“Iya gak apa-apa, jangan diulangi lagi sus.”Kata suamiku bijak. Begitulah
suamiku, ia dikenal sangat bijak dan mampu menghadapi masalah dengan tenang.
Aku pun tersenyum mendengar perkataan suamiku. Aku bahagia bisa menikahinya,
dan aku menjadi lebih bahagia karena anakku tidak jadi tertukar. Aku sangat
bersyukur padaNya atas segala karunia ini.
***
Begitulah
pengalamanku menjadi seorang ibu untuk pertama kalinya. Sungguh melelahkan,
namun terbayarkan dengan senyuman yang indah dari sang buah hati. Perasaan
gembira tak mungkin dipungkiri lagi. Dan mungkin perasaan ini dialami oleh
sejuta ibu di luar sana. Aku dan suamiku merawat bayi itu hingga kini tumbuh
dewasa. Semoga, pengalaman ini dapat dijadikan hikmah bagi para wanita yang
belum memiliki anak di luar sana, karena sesungguhnya menjadi seorang ibu
adalah anugrah terbesar dari Allah Sang Maha Pencipta.
oleh : Angger Mahamafrudho (Mahasiswa UI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar