Hari ini, langit seolah menumpahkan rasa dukanya pada si kecil manis
yang begitu menginspirasi. Disaat orang sibuk dengan rutinitas duniawi,
dia begitu rindu keindahan surgawi, dan menjunjung tinggi tuntunan
tertinggi agar hidupnya lebih berarti. Hari ini, aku menemuinya, dengan
menggenggam Al Quran berwarna pink sebagai kado ulang tahunnya yang
kesepuluh. Tapi, Al Quran itu kini berjejer dengan 5 Al Quran cantik
warna-warni yang mungkin sama denganku, sebagai hadiah ulang tahunnya,
yang akan menggantikan Al Quran tak berbaju berwarna cokelat milik
Fatimah yang kini berwarna merah darah, semerah merah saga. Dan, masih terbayang bagaimana beberapa hari dalam dua pekan ini
begitu menginspirasi, yang mengajarkanku, “hidup hanya sekali Teh, kata
ummi Bibah, jadi hiduplah yang berarti…” ucapnya dengnan senyum
manisnya. Aku pun ikut tersenyum mengiyakan.
***
"Keziaaa, Keziaaaa,,,," teriak bude dari bawah tangga.
"Iya budeee, sebentaaar. Kezia pake kerudung dulu." balasku.
Tapi,
bude memang gampang panik, karena hari ini merupakan hari pertamaku
masuk kuliah. Kuliah disalah satu universitas ternama di negeri ini,
Universitas Utama. Beliau begitu khawatir kalau aku akan tertinggal
kereta.
“Kezia Ayu Purwantiiii, ayo cepetan nduk, nanti kamu telat keretanya,
terus dimarahin sama dosen. Ayo, belum sarapan juga kan?” Cerocos bude
menghampiri, beliau suka sekali memanggil namaku atau anak-anaknya
secara lengkap, jika membutuhkan perhatian lebih agar beliau lebih
diperhatikan.
“Iya, Bude,,,” Jawabku sambil tersenyum dan siap berangkat.
***
Stasiun Kalibata
“Pak, kereta ke Depok yang mau segera berangkat jam berapa?” Tanyaku, khawatir terlambat di jam pertama aku kuliah.
“Eh, neng! Pake jilbab sih pake jilbab, nggak tahu sopan santun ya,
main nyerodot aja.” Teriak si Bapak pedagang buah menggertakku.
Astagfirullah, kalimatnya tadi begitu menohok dihatiku, seolah jilbab
bisa begitu saja dikambinghitamkan. Aku pun tersenyum berusaha sabar,
alih-alih aku belum mengenal kehidupan Jakarta seperti apa.
“Maaf, Pak.
Saya hanya bertanya kereta tercepat yang mau ke Depok jam berapa, sama
sekali tidak ada niat untuk mendahului. Kalau bapak ingin membeli tiket,
silahkan.”
Setelah mendapatkan jawaban kalau keretanya setengah jam
lagi, aku pun mundur dan mengikuti antrian. Hm, pelajaran pertamaku,
harus lebih sabar menghadapi kehidupan di Jakarta, mungkin teman-temanku
di kampus yang heterogen, akan membutuhkan kesabaran yang lebih. Kereta begitu penuh dan sesak, kakiku kemana, tanganku kemana, seolah
semuanya saling menghadap atau membelakangi, semuanya saling menempel
satu sama lain. Astaghfirullah, mungkin ini yang dikhawatirkan bude,
bukan hanya ketelatanku, tapi kondisi kereta pada jam kerja begitu tidak
nyaman. Banyak hal baru yang kutemui dalam kereta, berbagai rupa
pengemis dan peminta-minta, pengamen, hingga penjual yang serba ada. Alhamdulillah, akhirnya aku sampai distasiun tepat depan kampusku.
Dengan langkah terburu-buru aku terus melangkahkan kakiku, hingga
seorang gadis kecil penjual Koran dan tissue depan stasiun menarik
perhatianku. Mulutnya komat-komit, berbeda dengan laki-laki kecil
disampingnya berteriak menjajakan jualanya, sesekali dia hanya
menawarkan sambil tersenyum manis pada pejalan kaki yang berhenti
melihat, “Ayo, dibeli kak Koran dan tissue-nya.” Kemudian menunduk
melihat sesuatu, dan komat-komit lagi.
Waktu yang ditunjukkan jam
tanganku menarikku agar cepat-cepat pergi.
***
Hari-hariku dikampus cukup menyita tenaga dan pikiranku, baik itu
agenda orientasi kampus, maupun akademik. Namun, pemandangan aneh pada
gadis manis berkulit cokelat itu, membuatku penasaran, apa yang
dikomat-kamitkan mulutnya ya? Atau jampi-jampi agar dagangannya laku?
Pikiran orang jawa yang sarat dengan mitos dan kelenik, Astaghfirullah
batinku, jangan sampai aku berprasangka yang tidak-tidak. Akhirnya dihari ketiga, aku memberanikan diri, menghampiri gadis
kecil itu. Masih dengan senyum manisnya, ia berhenti dari aktivitas
komat-komitnya, dan seolah ada magnet yang membuatku kelu sejenak.
“Mau, tissue atau korannya Teh?” Tanyanya lembut masih dengan senyum manisnya.
“Hmm, koran dan tissue-nya deh De satu…” Si gadis kecil itu dengan
cekatan memberikan salah satu jenis koran yang kusebutkan lengkap dengan
tissue-nya.
Sebelum melangkah pergi, gadis kecil itu kembali menunduk dan mulai
komat-komit lagi. Rasa penasaranku membuatku membalikkan badan, dan
ingin berbincang-bincang mengetahui lebih jauh apa sebenarnya yang
tengah dilakukannya.
“Boleh, duduk-duduk sebentar De?” Tanyaku, khawatir mengganggunya.
Alih-alih yang ditanya masih menunjukkan senyum manisnya sambil
menyilakan duduk disampingnya.
“Namanya siapa, De?” Tanyaku memulai percakapan. Sekarang aku tahu
bahwa saat dia menunduk dia membuka buku kecil penuh tulisan arab, lebih
tepatnya Al Quran saku yang sudah lapuk dan tak berjilid.
“Fatimah, Teh…” Jawabnya tenang, kemudian dia mengantongkan buku
kecilnya, mungkin lebih tepatnya Al Quran kecilnya kedalam saku roknya.
“Teteh pasti mahasiswa sini ya?” Kini dia mulai bertanya padaku, baguslah jadi aku tidak canggung untuk bertanya lebih padanya.
“Iya, Fatimah. Namaku Kezia Ayu. Kalo boleh tahu apa yang kamu
lafalkan tadi ya Fatimah?” Tanyaku mendiksi kata sehalus mungkin untuk
mengorek info lebih.
“Oh, Teh Ayu, mau nanya itu. Banyak yang mengataiku aneh sih Teh,
padahal Fatimah kan cuma menghafal.” Terangnya sambil menunduk.
Menghafal? Apa gerangan yang dihafal gadis kecil ini?
“Teh, pasti orang pintar. Fatimah boleh Tanya?” Tanyanya polos. Aku
hanya tertawa kecil, sekaligus bangga, hehe. Si Fatimah bisa-bisa saja.
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
“Fatimah serius Teh Ayu, mau tanya jumlah juz di Al Quran ada berapa
ya? Soalnya, Al Quran punya Fatimah ga berjilid. Jadi, Fatimah nggak
tahu jumlah juz dalam Al Quran jadinya berapa?” Tanyanya sambil
menunjukkan Al Quran kecilnya yang lebih mirip buku kecil yang sudah
lapuk tak berjilid. Tapi, sebelum aku menjawab pertanyaan polosnya.
Dia
kembali bertanya, “Kalo boleh tahu, Teh Ayu udah hafal berapa Juz?
Pasti udah khatam ya."
Pertanyaan terakhir yang dijawab Fatimah membuatku
kelu, seolah ada yang menohok jantungku, kebanggaan menjadi mahasiswi
universitas ternama negeri ini, seolah meluruh saat pertanyaan gadis
kecil disampingku meluncur polos dari mulut mungilnya.
“Ada 30 Juz, Fatimah.” Hmm, kamu sedang menghafal Al Quran? Sudah
berapa halaman yang kamu hafal? Jawabku sambil mengalihkan perhatiannya.
“Hmmm, Fatimah baru hafal sekitar 500 halaman teh, atau 29 Juz…”
Jawabnya polos sambil menundukkan kepalanya. Adzan Ashar membuatnya
bergegas membereskan barang-barangnya.
“Wah, punten Teh Ayu, Fatimah pamit pulang duluan, kalo sempet mampir
dan jawab pertanyaan Fatimah ya Teh. Assalamualaikum!” kemudian Fatimah
langsung bergegas pergi meninggalkan yang masih dalam diam kebisuan
hatiku.
***
“Kata Umi Bibah, Fatimah masih bisa dapat kesempatan memberikan
hadiah buat emak sama abah yang udah nggak ada. Katanya, Fatimah bisa
memberikan mahkota dan pakaian emas di surga kelak, kalo Fatimah bisa
hafal Al Quran, Teh.”Terangnya esok siangnya saat aku menghampirinya
lagi.
“Ayo, Teh Ayu, jadi juz di Al Qur’an ada berapa?” Rengeknya polos,
“Ada 30 Fatimah,,,” Jawabku, masih kagum dengan cerita tadi.
“Alhamdulillah, jadi Fatimah bentar lagi bisa ngasih kado terbaik buat emak dan abah.” Katanya sumringah.
“Fatimah, jadi kamu komat-komit setiap hari saat kamu disela-sela
kesibukan jualan,,,adalah menghafal Al Quran?” Tanyaku kagum. Yang
ditanya hanya tersenyum menunduk.
“Kata Umi Bibah, semuanya, selain Al Quran adalah sambilan. Kerja
sambilan, makan sambilan, bahkan jualan pun sambilan. Jika kita
menomorduakan Al Quran, maka Al Quran pun akan menomorduakan kita.
Karena pada hakikatnya, Al Quran menginginkan kebersamaan terhadap
pemiliknya hingga akhir hayatnya, Teh.” Jawabnya tenang.
Subhanallah,
jawaban-jawaban lugas itu seolah menamparku untuk sadar betapa aku telah
melalaikan hafalan-hafalan Al Quranku dengan alasan sibuk, padahal
benar semuanya sambilan, dan Al Quran adalah tuntunan utama dalam hidup
kita. Betapa waktu habis hanya mengurusi tugas ospek dan akademik.
Beberapa hafalan yang berhasil kuhafal waktu SMA boarding school dulu di Jogja sudah lupa karena jarang me-muraja’ah. Astagfirullah…
“Fatimah ingin memberikan kado terbaik buat emak dan abah Fatimah
Teh, jadi tar pas kami kumpul di Surga Allah kelak, Fatimah bisa kasih
mahkota emas dari hafalan Fatimah, meski Fatimah nggak tahu wajah emak
dan abah seperti apa. Kata umi Bibah, aku dititipkan oleh seseorang yang
meninggalkanku didepan asrama Bintun Nahl, dengan menitipkan bahwa
namaku Fatimah, seperti putri Rasulullah yang terjaga dari bahaya dan
godaan syaithan."
Aku hanya bisa diam ternganga mendengar cerita polos Fatimah. Gadis
sekecil dia, masih berfikiran positif tentang orang tuanya, dan
berusahan untuk memberikan kado terindah untuk orang tuanya di surga
kelak. Sedangkan aku yang sudah mahasiswi, masih merengek meminta hadiah
pada bunda jika nilai-nilaiku bagus.
Tiba-tiba, Fatimah kecil menangis didepanku. Aku bingung apa yang
membuatnya menangis, padahal tadi dia masih tersenyum sambil bercerita
mimpi-mimpinya.
“Fatimah, kenapa nangis? Ada yang salah?”
“Nggak Teh, Fatimah cuma pengen nangis aja, hehe. Apa Allah akan denger mimpi-mimpi Fatimah, Teh?” kemudian Fatimah izin pamit.
“Fatimaaah,,,! Teriakku.
“Tunggu!” Sambil mengelus pundaknya dan menghapus jejak air
matanya,
”Fatimah manis, jangan menangis.” Ucapku sambil tersenyum
semanis mungkin.
“Allah maha mendengar semua doa dan mimpi hamba-Nya,
baik yang diucapkan maupun hanya tersimpan dalam hati kita.” Terangku,
sambil menunjuk kedadanya.
***
Hujan sore ini begitu deras dengan nada-nada riuh membuatku menggigil
dengan gigi bergemeretak bercampur isak tangis. Langit hitam seolah
menangis pilu, menangisi kepergian si kecil Fatimah. Hari ini, tepat di
ulang tahunnya, setelah percakapan bebera hari lalu, bahwa dia ingin
sekali membeli Al Quran baru pas saat ulang tahunnya kesepuluh dengan
hafalan kamil 30 Juz. Hafalannya memang lengkap 30 Juz kata
Ummi Bibah. Semalam, baru saja Fatimah mengkhatamkan hafalannya depan
Ummi Bibah dan tersenyum, karena akan mendapatkan kado Al Quran baru
dari hasil jualannya selama ini.
Tapi, peristiwa tadi siang, mengubah pesta syukuran ulang tahunnya
menjadi takziyah mengiringi kepergiannya bertemu dengan sang Maha
Pengasih, Allah SWT dan mengantarkan kado istimewanya untuk kedua
orang-tuanya dengan hafalan Al Qurannya.
“Teh Fatimah, maafin Udiiin, hikz,,,hikzz. Udin janji nggak akan
nakal dan nurut ma Teteh.
”Teriak Udin sambil sesengukan di pelukan
umminya, Ummi Bibah.
Siang tadi Udin bermain disekitar rel kereta api, dia berkejaran
bersama teman-teman sebayanya. Melihat itu, Fatimah langsung menegur
agar tidak berlarian disekitar area rel kereta api. Karena kawasan rel
kereta api dekat rumahnya bukan stasiun yang ada penanda kalau ada
kereta lewat. Yang dinasehatin bukannya ngeh dan berhenti, alih-alih semakin asik maen gerobak sodor dengan rel sebagai pembatasnya. Seperti biasa, Fatimah asik me-muraja’ah lagi hafalan-hafalan Al Qur’annya dengan menggengam Al Quran kecil tak berjilidnya. Saat terlihat kereta express
melaju kencang, ke arah Udin dan teman-teman, Fatimah berusaha
berteriak sekencang mungkin. Tapi, suara bising kereta tak membuat Udin
melihat kearahnya, justru semakin asik mengejar teman-temannya. Fatimah
pun berlari sekencang mungkin, berusaha menarik tangan Udin. Namun
sayang saat tanganya menarik Udin ketepi, kakinya justru tersandung, dan
tubuhnya seketika terpental. Kemudian,,,,, wajah gadis itu biru lebam, tubuhnya penuh dengan warna darah,
semerah saga. Namun, dibalik semua itu, ada ketenangan yang tergambar
dari wajahnya. Seolah Allah begitu rindu dengan kekasih kecilnya yang
berusaha menjaga kalam-kalam-Nya. Seolah setelah janjinya terpenuhi,
Allah menagihnya dengan memanggil dengan cara-Nya yang tak pernah
disangka-sangka.
Kini, Fatimah kecilku, yang telah mengisi beberapa hari dalam relung
hatiku, telah pergi. Gadis kecil itu, memberikan motivasi dan inspirasi
begitu besar dalam hidupku. Aku berjanji, mulai detik ini menjadikan Al
Quran sebagai rutinitas utamaku, dan selainnya hanyalah sambilan. Betapa
rindunya Aku pada Rabbku dan kalam-Nya yang begitu indah. Al Quran.
Hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti.
***
The end
“Cerpen ini di buat untuk mengenang Ustadzah Yoyoh Yusroh yang
begitu menginspirasi, bahkan disaat kepergiannya pun tetap
menginspirasi.”
oleh : Rasih (Mahasiswa Univ. Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar