Optimalisasi Peran Farmasis di Lingkungan Padat Penduduk


Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki tingkat laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pada akhir tahun 2010, tercatat jumlah penduduk Indonesia mencapai 259 juta(1) jiwa. Jumlah ini belum termasuk dengan jumlah penduduk yang memiliki NIK ganda di berbagai daerah. Laju pertumbuhan penduduk di Indonesia mencapai 1,49 persen per tahun atau 3,5 juta per tahun(2) dikarenakan jumlah Pasangan Usia Subur yang tinggi. Kepadatan penduduk ini pun terjadi di Ibukota Indonesia yaitu DKI Jakarta, dimana jumlah penduduk yang tercatat pada Bulan Juli 2011 sebesar 8.522.427(3) jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak(4) 12.992 jiwa/km2 wilayah DKI Jakarta. Hal ini akan
sangat berdampak pada berbagai bidang, terutama di bidang kesehatan.

Salah satu dampak yang timbul yaitu kebutuhan akan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan yang semakin meningkat. Hal ini membuat pemerintah Indonesia harus berkerja keras memenuhi tanggung jawabnya dalam penyediaan jaminan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang baik bagi warganya. Namun, dalam praktiknya di lapangan, kedua kebutuhan ini belum dapat tersebar secara merata terutama di daerah yang terpencil dan jauh dari pusat peradaban ibukota. Semisalnya saja di daerah Kalimantan atau Sulawesi yang pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatannya jauh dari standar yang seharusnya dibandingkan pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan di ibukota. Hal ini patut dijadikan perhatian khusus pemerintah karena hal ini menyangkut hak dasar dari warganya.

Dampak lain yang mungkin ditimbulkan yaitu kondisi sanitasi yang buruk dikarenakan padatnya rumah penduduk atau ketidaktahuan penduduk yang berakibat pada meningkatnya penyebaran penyakit baik oleh bakteri dan virus di lingkungan, maupun melalui makanan yang pada umumnya kurang higienis. Hal ini diperparah dengan kondisi Indonesia yang termasuk negara tropis dimana bakteri dan virus cocok berkembangbiak di iklim ini serta tingkat kemiskinan yang meningkat sehingga makanan yang dikonsumsinya seadanya dan murah, tidak mementingkan higienitas dan gizi yang terkandung di dalamnya. Masalah ini akan menjadi masalah yang sangat serius apabila dikesampingkan dan kurang mendapatkan perhatian, terlihat dari banyaknya penyakit yang menyebar di kalangan penduduk Indonesia. Di sini dituntut peranan dari pemerintah Indonesia untuk lebih peduli terhadap bidang kesehatan dan mencari strategi dalam menyelesaikan masalah yang timbul akibat jumlah penduduk yang bertambah pesat. 

Masalah-masalah yang telah disebutkan di atas sebenarnya dapat diatasi dengan suatu strategi, yaitu memaksimalkan peran farmasis di Indonesia. Apa itu farmasis? Farmasis merupakan sebuah profesi yang lebih dikenal dengan apoteker yang pekerjaannya adalah meracik obat-obat dan pemantauan pasien dalam menggunakan obat. Profesi ini merupakan profesi khusus yang tidak dapat dilakukan oleh profesi lain seperti dokter atau perawat meskipun sama-sama sebagai tenaga kesehatan. Hal ini dikarenakan setiap tenaga kesehatan telah memiliki ilmu dan peranannya masing-masing dalam bidang kesehatan, dimana dokter bertugas mendiagnosa (memeriksa) dan menentukan jenis penyakit yang diderita pasien, farmasis bertugas meracik obat sesuai hasil diagnosa dokter (bukan resep dokter) dan melakukan pemantauan terhadap pasien dalam menggunakan obat yang diberikan, dan perawat bertugas mendampingi dokter dalam merawat pasien, ibarat menjadi asisten dari dokter itu sendiri.

Namun, peranan farmasis di Indonesia masih dinilai kurang. Farmasis masih dianggap sebagai peracik obat saja dan kurang berperan dalam dunia kesehatan. Selain itu jumlah farmasis yang tersedia di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, dengan rasio terhadap penduduk Indonesia lebih kurang 1 : 20.000(5). Padahal, peran farmasis sangat penting, yaitu menentukan obat apa yang cocok digunakan untuk pasien sesuai hasil diagnosa dokter, meraciknya, kemudian melakukan pemantauan bagi pasien tersebut dalam penggunaan obat. Dan tidak tanggung-tanggung, di luar negeri seperti Amerika Serikat, Perancis, Jepang dan negara maju lainnya, pemantauan terhadap pasien dilakukan hingga ke rumah pasien dengan mencatat segala aktivitas dan konsumsi dari pasien tersebut guna mencegah interaksi obat dengan makanan yang dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan. Di negara-negara tersebut, peranan para tenaga kesehatan telah terpisah dengan tanggung jawab masing-masing seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan di Indonesia, farmasis hanya menjadi ‘tukang obat’ saja yang tugasnya meracik obat sesuai petunjuk dari dokter. Bahkan fakta yang lebih parah di lapangan, beberapa peracik obat di apotek-apotek bukanlah seorang farmasis. Hal ini sungguh sangat disayangkan, mengingat betapa pentingnya peranan farmasis dalam bidang kesehatan.
       
Peranan farmasis yang penting itu tidak akan berjalan baik selama tidak adanya dukungan dari pemerintah. Pemerintah Indonesia sudah seharusnya memberikan dukungan melalui legalitas peranan farmasis dalam undang-undang serta sosialisasi peranan farmasis di dunia kesehatan agar tidak terjadi salah ‘kaprah’ lagi baik bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan lainnya mengenai tugas dan tanggung jawab seorang farmasis. Selain dukungan di atas, pemerintah dapat meningkatkan pelatihan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada untuk menjadi tenaga kesehatan, salah satunya menjadi farmasis. Dukungan pemerintah ini bersifat riil (nyata) daripada pemerintah hanya menjanjikan kepada warganya peningkatan kepedulian pemerintah dalam bidang kesehatan. Dengan pelatihan SDM itu sendiri, pemerintah dapat melakukan pengiriman tenaga-tenaga medis termasuk farmasis ke daerah terpencil yang ada di seluruh pelosok Indonesia sehingga penduduk Indonesia dapat merasakan kepedulian dan perhatian pemerintah dari segi kesehatan. 

Ketika peranan farmasis telah optimal dilakukan, masalah sanitasi dan makanan serta masalah penyebaran penyakit secara perlahan dapat diselesaikan dengan baik. Karena farmasis melakukan pemantauan kepada para pasien yang mengalami sakit agar konsumsi makanannnya dapat terjaga, kebiasaan hidup dan sanitasinya dapat diperbaiki serta upaya yang dilakukan agar pasien tidak menularkan penyakit kepada penduduk lain di sekitarnya. Memang, dibutuhkan waktu untuk mengoptimalkan peranan farmasis dalam pelayanan kesehatan, namun manfaat yang dirasakan akan besar jika wacana ini dapat dijalankan. Sembari pemerintah terus menggencarkan program Keluarga Berencana (KB) untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, wacana ini dapat dijalankan beriringan untuk menyelesaikan masalah yang sudah ada saat ini. Hal ini lebih baik daripada menunggu program KB berhasil terlebih dahulu. Seperti kata pepatah, ‘perlahan tapi pasti’. Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun, tidak akan terlalu menimbulkan masalah yang besar di bidang kesehatan selama pengoptimalisasian peran farmasis dijalankan.


(1)   Robert Adhi, “Jumlah Penduduk 259 Juta”, 2011, < www.kompas.com> (6 November 2011)
(2)   Benny N Joewono, “Penduduk Indonesia Tambah 3,5 Juta Jiwa per Tahun”, 2011, <www.kompas.com> (6 November 2011)
(3)   “Jumlah Penduduk Provinsi DKI Jakarta”, 2011, <www.kependudukancapil.go.id>, (6 November 2011)
(4)   Ibid. 
(5)   Elin Yulinah Sukandar, “Tren dan Paradigma Dunia Farmasi”, <www.itb.ac.id>,  (6 November 2011). Dijelaskan juga bahwa perbandingan di negara lain seperti  Jepang (1 : 660), Thailand (1:1000), Perancis (1:3000), Amerika Serikat (1:1.430), Australia (1:1700), Cina (1:5000)



oleh : Angger Mahamafrudho (Mahasiswa Univ. Indone

Tidak ada komentar:

Posting Komentar